SIAL
Sial!
Setengah jam lagi pelajaran
dimulai, sedangkan motor yang sedang kugunakan untuk ke tempat sekolah tiba-tiba
mogok di tengah jalan, apalagi langit sangat gelap. Sebentar lagi
pasti hujan dera. Ya, memang ini masih pagi. Tapi
kalau melihat cuaca yang sebegini gelap, rasanya bulu romaku pada berdiri
semua. Aku mencoba mencari tahu di mana kira-kira bengkel terdekat. Namun,
setiap orang yang kutanya tentang itu selalu menjawab ‘tidak tahu’ aku mulai
kesal saat mengajukan pertanyaan yang sama kepada bapak-bapak bertubuh besar
kekar yang dengan sengaja motornya kuberhentikan. Saat kutanya, dia malah
nyolot. “Sialan, kenapa kau memberhentikanku! Mau kuremuk-remuk
tulang-tulangmu, apa kau mau kucincang-cincang,
hah?” bentak bapak itu seraya menarik lengan kaosnya ke atas sampai terlihat
otot-ototnya yang jelas lebih besar daripada otot manusia biasa itu. Aku yang
tadinya sempat ingin memberontak dan balas nyolot, dengan penuh kesadaran,
langsung membuang jauh-jauh niatan itu. Sekarang aku hanya bisa menelan ludah
dan mempelototi otot-otot bapak itu. “Ma-maaf, Pak. Saya hanya ingin
menanyakan, apakah bapak tahu di sekitar sini, di mana bengkel yang paling
dekat. Motor saya mogok, Pak.” Aku sempat terkekeh melihat bapak itu juga
mempelototiku.
“Bukan urusanku.
Sekarang aku ingin melanjutkan
perjalanan, minggir!”
“Pak, bantu saya, Pak. Sepertinya
saya tersesat, langit semakin gelap. Sedangkan saya tidak tahu banyak tentang
daerah sini. Apakah di sini tidak ada rumah-rumah warga?” Tanyaku penasaran, tanpa memperdulikan pelototan si
bapak.
“Kau
ngotot sekali sih!
Sudah kubilang, aku ingin
melanjutkan perjalananku,
minggir! Aku buru-buru.” Tanpa menungguku berbicara
lagi, si bapak langsung menyalakan mesin motornya dan menjalankan motor bututnya
itu. Membuatku terkejut dan terjatuh ke tanah yang hampir menjadi lumpur itu.
Eww..
Aneh, sepertinya bapak itu
menghindariku karena dia ingin menghindar dari pertanyaan-pertanyaanku, seperti
ada yang disembunyikan.
Sambil menoleh kanan-kiri, aku
mendekati motorku dan berusaha menenangkan diri dari rasa takutku. Dengan
sekuat tenaga aku mendorong motorku melewati jalanan yang mulai berlumpur
berkat hujan yang langsung mengguyur bumi.
Kenapa bisa seperti ini, sekarang
sudah hampir jam tujuh pagi, langit masih gelap seperti menjelang malam hari.
Dan yang lebih parah, kenapa aku bisa tidak mengenali daerah ini. Kiri-kanan
jalan hanyalah pohon jati yang tumbuh menjulang tinggi, di ujung jalan hanya
terlihat persawahan dan satu rumah di antara sawah dan hutan jati itu.
Sedangkan jalanan yang sedang kulewati kini semakin buruk, digenangi air hujan
dan lumpur. Aku mencoba menelpon temanku, tapi tidak ada sinyal. Aneh. Ini
benar-benar aneh.
Setelah cukup jauh mendorong
motorku, aku merasa pegal dan kuputuskan untuk mendatangi satu-satunya rumah
yang berada di antara sawah dan hutan jati. Kuparkirkan motorku di bawah salah
satu pohon jati yang berada tidak jauh dari rumah itu.
“Permisi, selamat pagi. Apa ada
orang?” Seruku seraya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu yang hampir keropos
itu. Lama, tidak ada sahutan. Tapi, aku terus mengetuknya. Sampai ada seseorang
keluar dari rumah itu. Dan yang membuatku terkejut, pemilik rumah itu adalah
bapak yang tadi hampir beradu mulut denganku. Bapak itu sama kagetnya denganku.
Kini, wajahnya tidak segarang yang tadi. Tampak lebih lembut dan berwibawa.
“Permisi?” aku memecah keheningan
saat bapak itu memperhatikanku dengan tatapan penuh selidik.
“Ya, maaf, kau
siapa, Nak?” tanya bapak itu sopan, berbeda dengan saat kutanya di tengah
jalan.
“Saya Niko,
Pak. Saya siswa di SMA Hollan. Saya tersesat di sini, Pak,” jawabku “apa bapak
bisa menolong saya?”
Tiba-tiba terdengar suara petir
menggelegar. Membuatku terjungkal saking kagetnya. Tapi, bapak itu tampak tetap tenang.
“Oh haha, kau terkejut rupanya, Nak. Baiklah kalau begitu, lebih baik kita
bicara di dalam saja.” Bapak itu menggiringku memasuki rumahnya yang sepertinya
sudah sangat tua.
Rumah ini tampak sepi, tidak ada
orang lain selain bapak—“M-maaf, kalau boleh saya tahu, siapa nama bapak?”
“Samuel.”
Nama yang terlalu bagus untuk
ukuran orang yang primitif yang tinggal di tengah hutan begini. Tidak ada orang
lain di rumah ini selain aku dan Pak Samuel. Tapi, sejak dari ruang tamu tadi
aku melihat ada banyak lukisan terpajang di hampir seluruh dinding rumah kayu
ini. Semua orang yang berada di dalam lukisan itu
tampak tegang melihatku memasuki rumah pemiliknya. Hanya lukisan saja sudah
membuat nyaliku semakin kecil untuk melangkahkan kakiku ke dalam rumah. Langkahku terhenti saat melihat sebuah
lukisan dengan subjek anak kecil dan ibunya sedang menangis saat melihat orang
bertubuh besar dengan sebuah benda tajam yang siap dilayangkan ke arahnya. Pak
Samuel yang menyadari langkahku terhenti, ikut menghentikan langkahnya dan
menghampiriku. “Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya seraya menepuk bahuku.
Betapa terkejutnya aku saat tokoh ibu dan anaknya di dalam lukisan itu menoleh
ke arahku dengan tatapan sinis dan kejam. Air mata yang tadinya mengalir di
pipi mereka kini berubah menjadi darah. Aku membuang pandangan dari lukisan itu
ke arah Pak Samuel yang juga membuatku terkejut tadi. “Kenapa kamu, Nak? Apa
yang baru kamu lihat?” tanyanya sigap. Sambil menggos-menggos, aku menjawab
pertanyaan itu “Itu, Pak. Lukisan itu menatap saya kejam. Matanya dipenuhi
darah,” aku menunjuk-tunjuk lukisan itu tanpa membuka mata. Kurasakan tangan
Pak Samuel mendarat di bahuku dengan lembut sehingga tidak membuatku terkejut.
“Ayo, Nak, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini.” Pak Samuel mengajakku ke
ruang tengah. Terdapat sofa di sana, terasa nyaman saat aku menduduki sofa itu
dengan hangat.
“Pak, sebenarnya saya ada di mana
sih? Saya belum pernah masuk ke daerah sini.”
“Kamu sedang mengalami nasib yang
sama dengan saya, Nak. Kita terjebak di hutan ini. Siapa saja yang memasuki
kampung ini saat hujan-hujan begini, akan mengalami
nasib buruk tidak akan bisa keluar dari sini.” Jantungku
hampir copot mendengar ucapan bapak itu.
“Apa maksud bapak!? Sebenarnya
tempat ini hutan atau perkampungan?”
“Tenanglah, Nak. Lebih baik
sekarang kamu minum teh hangat ini dulu.” Pak Samuel menyodorkan secangkir teh
hangat ke arahku. Karena aku kedinginan, aku minum teh itu bersama Pak Samuel.
“Jadi, bisa bapak jelaskan apa
maksud perkataan bapak tadi?” tanyaku setelah menghabiskan teh.
“Tempat ini, adalah tempat
terlarang, siapa yang tidak sengaja masuk area ini pada waktu hujan-hujan,
dipastikan tidak akan bisa keluar lagi.” Pak Samuel terlihat santai saat bicara
itu.
“Termasuk Bapak?”
“Ya, sekitar satu tahun yang
lalu, saya ingin berangkat kerja, cuaca sedang tidak baik, tapi saya masih berikeras
untuk tetap berangkat bekerja karena hari itu proyek saya akan didatangi
audit.”
“Lalu?”
“Saat di tengah perjalanan, hujan
turun sangat deras. Orang-orang di sekitar jalan raya semakin tidak terlihat.
Hanya ada beberapa yang sedang menunggu bus atau angkutan lainnya, setelah itu
jalan sudah sepi. Itulah keanehan yang benar-benar baru pernah saya jumpai.
Karena saya merasa aneh berada di jalan sendirian, saya memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan saya, tapi tidak ke arah proyek pekerjaan saya. Entah
apa yang membuat saya tiba-tiba hilang kesadaran. Saya melalui jalan yang
dipenuhi batu-batuan, dan tiba-tiba saya sudah berada di tengah hutan. Baru
saya sadari, ini semua bukan atas kehendak saya. Ada sesuatu yang mempengaruhi
jalan pikiran saya.” Aku mendengarkan cerita Pak Samuel dengan seksama,
tiba-tiba aku merinding. Melihatku tegang, Pak Samuel menghentikan ceritanya,
“Kamu baik-baik saja, Nak? Atau kamu
takut. Lebih baik tidak kuteruskan ceritanya.” Ujar Pak Samuel menatapku jeli.
“Oh, tidak, Pak. Lanjutkan saja.”
Pintaku, dan ceritapun dilanjutkan.
“Sama seperti kamu, saya bingung
harus pergi kemana, dan akhirnya saya menemukan rumah ini.”
“Maaf, tapi dari mana bapak bisa
menyimpulkan kalau siapa yang sudah masuk area ini tidak akan bisa keluar?”
“Oh,” Pak Samuel meninggalkan
tempat duduknya dan menghampiri salah satu lukisan yang ada di situ. “kamu
pasti juga bisa merasakan, lukisan ini seperti hidup, kan?” tanyanya seraya
mengambil lukisan itu dan ditunjukkannya padaku. Itu lukisan yang tadi sempat
membuatku ketakutan. Sekarang lukisan itu terlihat biasa, dengan subjek seorang
ibu dan anak yang sedang menangis lalu di depannya seseorang bertubuh lebih
besar membawa benda tajam yang siap dilayangkannya.
“Ini, salah satu petunjuk dan
bukti. Coba kamu lihat setting lukisan ini.”
Oh God, tempat yang ada di
lukisan itu adalah hutan ini, lebih tepatnya di depan rumah ini.
“I-ini di depan rumah ini?”
tanyaku gugup. Pak Sam mengangguk. Membuatku semakin ngeri. Selanjutnya, Pak
Sam mengambil beberapa lukisan di ruang tamu, ruang tengah, dan dari dalam
kamar. Aneh, dari depan rumah ini terlihat kecil sekali. Tapi setelah kuhayati,
ternyata dalamnya lebih besar daripada rumahku. Dan, di rumah ini banyak sekali
lukisan-lukisan yang kalau dilihat membuat bulu romaku berdiri dan seakan
kakiku beku.
“Coba kamu amati semua lukisan
ini.” Pak Sam meletakkan sekitar empat buah lukisan di meja di hadapanku. Lalu
aku mengamatinya satu-persatu. Lukisan pertama menggambarkan seseorang duduk di
bangku yang sepertinya ada di teras rumah ini. Lukisan kedua, menggambarkan seorang
gadis cantik sedang menangis di bawah pohon besar yang sepertinya masih di
sekitar sini. Dan yang terakhir menggambarkan seorang bapak, yang mirip dengan
Pak Samuel dan si Bapak Nyolot sedang memotong kayu besar dengan kapak. Saat
kuhayati keempat lukisan itu, semua tokoh kurasakan menatap mataku dengan
tatapan sinis. Gadis yang tadinya menangis itu menatapku dengan tatapan penuh
kebencian. Bapak kembaran ketiga Pak Samuel mengalihkan perhatiannya dari kayu
di hadapannya dan menatap ke arahku dengan gerakan seakan ingin membunuhku. Dan
gambar bapak yang sedang duduk di bangku itu tersenyum sinis mematikan.
Sumpah! Sekarang aku merasa sedang
ada di neraka. Sebentar lagi aku pasti akan mati melihat
lukisan ini lebih lama.
Oh God, aku belum siap mati.
Aku melemparkan semua lukisan itu
ke meja. Lalu menatap Pak Sam curiga.
“Lalu, apa maksud semua ini?
Kenapa lukisan itu bisa bergerak seakan mereka hidup? Apa aku sedang mimpi?”
aku bertanya dengan suara dingin dan menampar keras pipi kananku, “Aww.” Sakit.
Ini bukan mimpi!
“Tenang, ini semua bukti kalau
semua yang masuk area ini tidak dapat kembali. Karena mereka masuk ke dalam
lukisan dengan tema yang sesuai dengan kejadian saat mereka sengaja atau tidak masuk
sini.
“Lalu, kenapa saya tidak menemukan lukisan yang menggambarkan saya?”
Tanyaku heran.
“Kamu pernah melihat seseorang
mirip denganku?” pertanyaan itu membuatku ingat si Bapak Nyolot yang tadi
kutemui dan seakan-akan menghindariku.
“Pernah! Tidak sampai satu jam
yang lalu.”
“Beruntung kamu, Nak.”
Pernyataan Pak Sam membuatku
heran, bagaimana dia mengatakanku beruntung karena bertemu dengan bapak itu,
padahal bagiku aku sama sekali tidak beruntung karena bertemu bapak itu sama
sekali tidak ada gunanya, malah membuatku kesal.
“Kok beruntung, Pak?”
“Dia itu berperan sebagai
penyelamat di permasalahan ini.”
Aku semakin bingung, apa maksud
dari semua ini. Dan kenapa dari tadi langit tidak cerah-cerah. Aku ingin
pulang, aku pasti bisa keluar dari sini.
“Siapapun orang yang masuk ke
hutan ini, tidak akan bisa keluar. Kecuali, dia bertemu dengan bapak-bapak yang
tadi kumaksud itu. Karena, bapak itu takut manusia. Setiap bertemu dengan manusia,
dia selalu emosi dan ingin segera menjauh dari
manusia itu. Dan,” Pak Samuel menyambar satu
lukisan di meja. “semua lukisan-lukisan yang kau lihat di rumah ini, adalah
karyanya. Dia mendapat kutukan, kalau dia melukis
seseorang atau lebih, orang itu tidak akan bisa keluar dari lukisan itu.”
“Lalu, kenapa lukisan-lukisan ini
menggambarkan kejadian di mana orang-orang ini masuk hutan ini? Bukankah dia
takut manusia?”
“Dia selalu bersembunyi, entah di
dalam rumah, di balik pohon, atau di manapun.”
“Dia membenci
manusia.”
“Kenapa?”
“Entahlah,
sejauh ini aku belum bisa memecahkan misteri itu,” Pak Sam mengempaskan
punggungnya ke sofa.
Aku tak mengucap
satu katapun. Kurasa otakku sudah terlalu lelah untuk memikirkan hal aneh ini.
Aku ingin pulang.
“rupanya kau
lelah. Tidurlah, Nak. Terlalu sulit bagimu memecahkan masalah ini. Ikuti aku,
ada banyak kamar kosong di sini.” Pak Sam beranjak dan mengantarkanku ke salah
satu kamar kosong yang menurutku sangat luas.
Aku melihat jam
yang ada di dinding kamar itu menunjukkan masih pukul sepuluh. Seharusnya ini
masih pagi, karena belum lama aku ada di sini saat aku hendak berangkat
sekolah, tapi sulit masuk logika ketika aku melihat langit luar dari jendela
yang sangat gelap. Karena merasa lelah, aku memutuskan untuk tidak memikirkan
hal yang aneh-aneh. Hingga sesaat kemudian, aku merasa ada batu besar yang tak
bisa kujanggal. Akhirnya gelap. Akupun tertidur.
“Siapa kau?” aku melangkahkan kakiku mudur.
“Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, kau sudah
membuatku kesal karena masuk ke dalam hutan ini. Cepat pergi dari sini! Kau
manusia kotor yang tak memiliki kesucian! Pergi kau dari sini, atau aku akan
membuatmu memiliki nasib yang sama dengan manusia-manusia dalam lukisan itu.”
“Bagaimana bisa aku keluar dari hutan ini? Aku
terjebak! Tak bisa keluar dari hutan terlarang ini.”
“Aku akan memberikanmu kesempatan. Jika pada pukul
satu nanti kau masih berada di sini. Aku akan membunuhmu.”
“Aku tidak mau mati! Aku belum siap mati! Keluarkan
aku dari hutan terlarang ini!”
“Nak, Nak. Niko,
bangun.”
Aku merasa
tubuhku diguncang-guncang oleh seseorang. Kemudian aku tebangun.
“Hanya mimpi?”
tanyaku seraya mengusap keringat yang turun deras di seluruh mukaku.
“Kau mimpi
buruk.” Pak Sam menyodorkan segelas air putih.
“Saya harus pergi
dari tempat ini, Pak. Saya pasti bisa keluar dari tempat terkutuk ini.”
Aku bergegas
mengambil ranselku dan meninggalkan kamar itu tanpa menghiraukan Pak Samuel.
Aku tak
mendengar langkah Pak Sam. Dia tidak mencegahku?
Saat aku keluar,
langit sudah nampak agak cerah. Jam menunjukkan pukul sebelas. Aku harus segera
pergi dari hutan ini.
Saat aku hendak
mengambil motorku di dekat pohon besar di samping rumah, aku terkejut setengah
mati ketika seseorang bertubuh kekar tiba-tiba keluar dari balik pohon besar
itu.
“Kau harus
mati!” ujarnya setengah menyeringai.
“P-pak Samuel?”
“Ya. Kau
terkejut? Tenanglah, rasa terkejutmu itu sebentar lagi akan hilang bersama
nyawamu”
Benar-benar tak
kusangka. “Kau benar-benar Pak Samuel yang baru saja kutemui di kamar?”
“Ya.”
“Apa maksudmu?
Hah!?” aku semakin mundur ketika Pak Sam yang jahat itu mendekatiku dengan mengangkat
sebuah kayu besar tepat di atas kepalaku.
“Kau harus
mati!” dia semakin mempercepat langkahnya dan….
Tawapun pecah.
****
“Di mana aku?”
“Kau ada di
rumah sakit. Jangan takut, sekarang kau aman.”
“Pak Samuel?
Kenapa kau ada di sini, orang jahat. Pergi dari sini!”
“Tenanglah, Nak.
Kau harus banyak istirahat, jangan banyak bergerak.”
Aku semakin
bingung dengan keadaan ini. Tiba-tiba seorang suster datang dan itu membuatku
merasa sedikit aman.
“Suster, cepat
suruh orang ini pergi.dia adalah pembunuh.” Ujarku pada suster yang ternyata
suster itu tidak percaya.
“Dia bukan
pembunuh, dia adalah orang yang menyelamatkan kamu. Bapak yang tadi hampir
membunuhmu itu adalah Pak Juda, dia adalah pemuja setan. Dia selalu mencari
korban untuk dijadikan tumbal lukisannya yang konon memiliki nilai besar di
pasar internasional.” Pernyataan suster itu membuat mulutku ternganga lebar.
Aku melihat Pak Sam yang berwibawa.
“Ya, Nak Niko.
Ternyata dia adalah pemuja setan yang membenci manusia lain. Dia merasa
dirinyalah manusia penguasa dunia.
“Aku semakin
tidak mengerti.”
“Tak usah
terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang kita selamat.”
“Berkat apa?”
“Mimpimu.”
Kepalaku terasa
nyeri. Ini adalah perjalanan yang aneh. Sangat aneh.
Komentar
Posting Komentar